Gegara Kalkulus



Dua hari lalu, dosen kalkulusku memberikan sepuluh soal PR yang harus aku selesaikan esok hari. Pak Sabto tidak menerima keterlambatan sama sekali. Apakah kamu sakit hingga opname pun, kalau tidak mengerjakan.. ya bakal nol. 

Setiap menit di kelasnya diliputi ketegangan. Setiap jeda bicaranya menimbulkan ketakutan akan tunjuk tangannya. 

"Mas kalau anda tidak serius di kelas saya, silahkan keluar. Tidak perlu susah-susah ke kelas saya lagi besok. Silahkan mengulang dan cari dosen baru di semester selanjutnya."

Tapi, menyelesaikan soal beliau seperti memecahkan kode enigma milik Nazi. Alias susah! 

"Nyerah deh gue. Asli!" gumamku kesal. Kalau gak sedang di perpustakaan kampus, sudah kubanting diktat dan Purcell setebal gaban ini. 

"Diubah dulu bentuknya." Seseorang mengatakannya dengan lumayan keras disampingku. Membuatku sedikit melirik karena kaget, namun tak kuhiraukan lagi. 

"Cos x kuadratnya diubah dulu jadi satu minus sin kuadrat x." Ucapannya membuatku menengok seluruhnya. Karena apa yang dia katakan tentang cos kuadrat x sama seperti soal di depanku. 

"Mas ngomong sama saya?" tanyaku menekan rasa maluku. 

Lelaki berhoodie hitam itu tak lantas membalasku, dia malah menarik pelan buku tulis di depanku. 

"Kalau lo ubah jadi satu minus kuadrat x, bentuknya bakal kayak persamaan kuadrat. Tinggal lo pecah faktornya, jadi satu minus x dan satu plus x. Baru deh lo coret sama bawahnya, sisanya lo masukin nilai limit x nya." 

Mataku bukannya sibuk mendengar penjelasan tutor dadakan ini malah sibuk melihat raut wajahnya yang menawan. Garis rahang yang kuat, alis tebal, hidung mancung, mata yang tegas namun entah mengapa saat kedua sudut bibirnya di tarik, tatapannya berubah menjadi lembut. 

"Ketemu deh limitnya sama dengan dua." 

Ia menolehkan wajahnya ke arahku. Sontak jantungku seperti bunyi gong yang membangunkanku dari lamunan dan segera mengalihkan pandanganku mencari keberadaan bukuku. 

Tapi bingung dengan apa yang harus aku lakukan, aku kembali menatapnya dan mengerutkan alis. 

"Mas ngajarin saya?" 

Pria itu menarik satu sudut bibirnya. "Lo kelihatan kesusahan dan pengen banting buku ini banget," katanya menunjuk buku diktat dan text book Purcell. "Gue cuma mau mengantisipasi supaya hal itu gak terjadi." 

Ya jelas aku ada niatan, tapi aku masih waras untuk tidak melakukannya. Alisku semakin menukik tajam sejalan dengan bingungnya aku sekarang. 

Mas-mas tak dikenal tiba-tiba ngajarin kalkulus, aneh gak sih? 

"Di ajar siapa?" tanyanya. 

"Pak Sabto." 

"Ohh.." katanya menghela nafas. "Dosen Kalkulus emang gak ada yang mending, tapi kalau lo ngerjain semua PRnya, minimal C+ lah."

Mataku membelalak kaget. Apa katanya? C+ hanya untuk 

puluhan soal beranak ini?

Lelaki di depanku malah terkikik melihat reaksiku. "Gue kasih tahu supaya di simaster nanti lo gak kaget." 

"Boro-boro ngerjain semua soalnya, satu soal aja say gak bisa," keluhku. "Kalau gitu, kira-kira saya dapat berapa?" tanyaku. 

Siapkan payung sebelum hujan tangis. 

Mata pria itu menyipit, bibirnya terkatup semi mengerucut dan sedikit menggumam. "Hmm.. D?" 

Aku menghela nafas berat. Belum juga berusaha, aku sudah ditampar kenyataan--eh bukan, ini mah namanya di tampar masa depan. 

Energiku sudah habis untuk ngerjain satu soal limit trigonometri yang jawabannya cuma dua itu, ditambah estimasi nilai D ku untuk semester ini. Kurapikan buku dan kertas yang berserakan di depanku, namun mas-mas itu kembali bersuara. "Mau kemana?"

"Pulang mas mau tidur aja," ucapku lesu. 

"Kan PR lo belum selesai."

"Iyaa.." ucapku nanggung. "Trus?" 

Masalahnya sama mas apa kalau belum selesai? 

"Ya selesaiin lah." 

Aku mengerjabkan mata beberapa kali. Bukan karena aku lupa kalau hari ini hari terakhir aku mengerjakan PR ini, tapi saat pria itu menawarkan sesuatu yang aneh barusan.

"Gue ajarin.. sini." Katanya manarik kembali buku dari tanganku. 

"Mas ada masalah sama saya?" Tanyaku spontan. 

Ia melirik lalu terkekeh. "Aneh ya?"

Aku mengangguk. Dia lalu membalas lagi, "Kebetulan lagi penat banget sama sempro, trus lihat lo kesusahan. Jadi pengen bantu aja." 

"Mas jurusan apa?" 

"Ilkomp." 

Astaganaga. Ilkomp kan yang katanya kasta tertinggi sefakultas ya? Yang 90% laki dan wibu tapi otaknya paling encer semua. 

Tunggu.. tunggu. Kalau dia sefakuktas, bisa jadi kita bakal ketemu lagi dan ni orang tahu bener kalau aku segoblok ini. 

"Mas saya pulang aja. Biar nanti saya kerjain sama temen saya." 

"Gue yakin lo cuma copas doang, begitu seterusnya sampai nunggu tutorial menjelang UTS. Gak yakin bakal paham, tapi kalau lo belajar nyicil pelan-pelan, nilai B bisa lo dapet." 

Ini laki-laki maksudnya apa sih? 

"Untungnya mas ngajarin saya apa?"

Ia terdiam lagi, mengerutkan dahinya lagi, seperti menimang-nimang sesuatu. "Hmm.. gue belum mikirin itu. Tapi ngelihat lo bawa Murakami.." Aku heran saat dagunya dicondongkan sekilas ke belakang tubuhku. Membuatku ikut menoleh ke Norwegian Woods yang tergeletak rapi disamping buku kalkulusku yang berantakan.

"Sepertinya selera kita sama." 

Badanku kuputar kembali ke arahnya. Masih menatapnya dengan tatapan bingung saat ia kini menjulurkan tangan kanannya ke depan. 

"Gue Lana. Maulana." 

Komentar