Cara Memaafkan Diri Sendiri



Pernah mendengar sebuah motto hidup, “I live my life without any regrets”? Bagaimana menurutmu?

Menjalani hidup tanpa rasa penyesalan sekalipun terlihat sangat menyenangkan. Kehidupan dihiasi rasa percaya diri dan optimis. Apapun pilihan yang diambil selalu berbuah kebahagiaan.

Namun sayangnya, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang tidak pernah mengalami penyesalan. Dalam buku Filosofi Teras Karya Henry Manampiring seorang filsuf yunani Marcus Aurelius, mengatakan bahwa ‘Di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan. Segala sesuatu yang terjadi di masa sekarang adalah rentetan peristiwa di masa lalu.’

Masa kini adalah konsekuensi dari pilihan yang kita ambil di masa lalu. Sayangnya, tidak semua pilihan tersebut menghasilkan sesuatu yang indah. Terkadang kita dikecewakan dengan keadaan. Perasaan gagal dan rasa bersalah semakin besar apabila kita sadar bahwa apa yang kita dapat tidak seperti apa yang kita rencanakan. Timbul perasaan gelisah dan mulai mempertanyakan banyak hal. Kenapa aku memilih jalan ini? Apa yang aku pikirkan saat itu? Kenapa aku tidak bisa memikirkan konsekuensi ini saat aku memilihnya?

Ada sesuatu yang kita yakini akan terjadi di masa depan—sesuatu yang mungkin kurang baik, dan kita ingin merubahnya tapi tidak bisa. Jeon Seungwan dalam bukunya yang berjudul Ketika Aku Tak Tahu Apa yang Aku Inginkan, mengatakan, kita baru menyadari arti sesungguhnya dari sebuah peristiwa yang terjadi dalam hidup setelah melaluinya, dan ketika baru menyadarinya sudah terlambat untuk kembali. Kenyataan yang begitu menyakitkan.

Kathryn Schulz seorang jurnalis Amerika dalam pidatonya di TED mengatakan bahwa penyesalan adalah emosi yang kita rasakan saat kita pikir kita bisa mengubah keadaan sekarang jadi lebih baik jika kita memilih pilihan yang berbeda di masa lalu. Mengulang untuk memilih pilihan yang benar, tapi tidak bisa. Kita kecewa dengan keadaan sekarang karena tidak menjadi seorang yang lebih baik dari yang seharusnya.

Ia juga mengatakan bahwa penyesalan memiliki dua komponen. Pertama adalah perantara, yang kedua adalah imajinasi. Perantara atau agensi membuat kita memilih pilihan di tempat pertama. Sedangkan imajinasi mengharuskan kita membayangkan peristiwa itu kembali dan membuat perbedaan pilihan. Like a song on repeat, rekaman imajinasi berputar terus menerus, membayangkan bagaimana keadaannya di masa sekarang

"The more acute imagination, the more regret will be."

Penyesalan dapat terjadi tergantung dari bagaimana kita dapat dengan mudah membayangkan apa yang dilakukan dengan pilihan yang berbeda. Pengalaman yang sungguh menyakitkan dan susah untuk berdamai dengannya.

Merasa benar ialah berpikir bahwa apa yang kita percayai adalah sebuah refleksi dari realita yang sempurna. Terlalu percaya dengan perasaan ingin menjadi benar dalam segala pilihan akan mengantarkan kita pada kekecewaan. Seberapa banyak kita memikirkan cara mengatasi resiko di masa depan dengan memastikan bahwa pilihan yang kita ambil sudah benar, ingatlah bahwa kita bukan peramal. Bahkan BMKG saja seringkali salah dalam memprakirakan cuaca.

Sebuah keputusan erat kaitannya dengan ketidakpastian—memilih keputusan untuk masa depan yang tidak pasti akan seperti apa. Karena ketidakpastian inilah, pengambilan keputusan bergantung pada penilaian, pengalaman, evaluasi, dan perasaan intuitif kita saat itu.

Sebagaimana manusia, kita dengan mudah merencanakan masa depan, mengingat masa lalu, dan berimajinasi menjadi orang lain. Namun kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di luar sana. Kita bukan Tuhan. Kita berpikir sesuatu hal akan terjadi, padahal disamping itu hal lain diluar pikiran kita telah terjadi.

Oleh karena itu, penting untuk kita memfokuskan diri dengan masa kini. Kita pasti tidak asing dengan Filosofi Teras atau Stoicsm, filosofi yang mengajarkan untuk fokus dengan hal-hal yang bisa kita kendalikan. Kita tidak memiliki kendali atas nasib, kita hanya memiliki kendali atas diri sendiri di situasi tertentu di masa kini.

“Tugas utama dalam hidup hanyalah ini: untuk mengidentifikasi dan memisahkan hal-hal sehingga saya dapat mengatakan dengan jelas kepada diri sendiri ada hal diluar kendali dan berkaitan dengan pilihan yang bisa saya kendalikan. Lalu di mana saya mencari yang baik dan yang buruk? Bukan hal eksternal yang tidak bisa dikendalikan, tapi melalui kendali diri sendiri untuk pilihan yang akan diambil ke depannya.”—Epictetus.

Jika kita punya mimpi, tujuan, dan kita selalu ingin melakukan yang terbaik, kita harus merasakan sakit saat pilihan kita salah. Poinnya bukan hidup dengan tanpa penyesalan, tetapi untuk tidak membenci diri kita karena memilikinya.

Beri diri kita waktu untuk pulih dari keputusan sebelumnya. Katakan kepada diri sendiri bahwa pada saat itu, keputusan yang kita pilih adalah keputusan terbaik yang bisa kita ambil, dengan telah mempertimbangkan berbagai hal dengan pengetahuan dan pengalaman kita di masa itu.

Yang namanya penyesalan tidak boleh didiamkan terlalu lama, ajak diri sendiri alih-alih berimajinasi dengan keputusan yang berbeda, lebih baik mempelajari hasil-hasil dari jalan yang tidak dipilih. Gunakan pilihan yang buruk untuk belajar bagaimana menjadi lebih efektif dalam membuat keputusan di masa depan.

"Penyesalan bukan mengingatkan kita bahwa apa yang kita pilih adalah sebuah keburukan. Tetapi mengingatkan kita bahwa kita tahu kita bisa melakukan yang terbaik"Kathryn Chulz.

 

Daftar Pustaka

Epictetus. (2021). Daily Stoic. Retrieved September 21, 2022, from https://dailystoic.com/control-and-choice

Manampiring, H. (2018). Filosofi Teras. Jakarta: Kompas.

Seungwan, J. (2021). Ketika Aku Tak Tahu Apa yang Aku Inginkan (Four ed.). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

X, TED. (2011). Kathryn Schulz-Don't regret regret. (TED X) Retrieved September 21, 2022, from https://www.youtube.com/watch?v=ka8L1YMR88U

X, TED. (2011). On being wrong-Kathryn Schulz. Retrieved September 21, 2022, from https://www.youtube.com/watch?v=QleRgTBMX88

 

Komentar