Simfoni Patah Hati [CERPEN #9]


Aku menunggu semesta tidur sambil memeluk lutut. Bersandar pada udara yang kian mendingin, namun tidak menusuk. Ia hanya ingin menemani kesendirian, yang entah ini keputusan atau keputusasaan. 

Matahari hanya menjalankan tugasnya seperti biasa. Awan yang biasanya sulit berkompromi saat aku ingin senja terbaik tanpa halangannya, kini berada dipihakku. Ia sama sekali tidak hadir saat matahari mulai tenggelam. Sesaat aku bisa merasakan, mungkin ia memberi sedikit empatinya pada perasaanku yang kian lebur. Ia memang tidak sebaik itu, namun mungkin ia tidak ingin sejahat itu. 

“Aku hanya tidak ingin menjadi yang paling jahat dari dia di hidupmu,” katanya berbisik pelan di telingaku.

“Terima kasih. Itu sedikit menghiburku. Yah, walau sedikit. Setidaknya suasana ini cukup mendukung.”

“Mendukung suasana galaumu, kan?”

“Mendukung dia untuk untuk memilih pergi meninggalkanku. Terima kasih atas pertunjukan dan dukungan kalian.”

Senja yang dikatakan Seno Gumira Ajidarma sama sekali tidak romantis. Sama seperti isi ceritanya yang bodoh. Sukab yang bodoh dan senjanya yang omong kosong. 

Senja saat ini mirisnya menjadi simfoni patah hati terindah yang ditujukan untukku. Mereka mendukungku untuk patah hati. Senja sialan. 

Matahari yang tinggal sebagian tiba-tiba ikut bergema, “Kesakitan itu akan hilang jika petang datang, sepertiku.” 

“Tidak. Perasaanku tidak sepertimu yang tenggelam lalu terbit keesokan harinya tanpa memikirkan hari kemarin. Tidur dan bangun hanya seperti menambah hari patah hatiku.”

Dia langsung diam dan kembali menjalankan tugasnya. Lagi pula, apa yang diketahui matahari dari perasaan patah hati? Dia bahkan hanya diam, bumi yang berputar.

Hanya suara deburan ombak yang bersuara tanpa membuat jengkel. Suaranya merdu dan menenangkan. Jari-jari kakiku kini kudekatkan dengan buihnya. Sama seperti angin, dingin namun tidak menusuk. Hanya menemani kesendirian. 

Apakah aku harus bercerita dengan ombak saja? Tapi bisa saja matahari itu menguping di sela-sela waktunya yang kian habis. Atau awan yang mungkin saling menyebarkan cerita ini ke awan lain. Ke cumulonimbus misalnya, dan dia akan menyebabkan badai dalam hidupku di tengah-tengah patah hatiku. 

Ah masa bodoh dengan cumulonimbus! Hidupku sudah cukup berantakan melebihi badai. 

Jadi ombak, cerita ini dimulai saat—tidak permulaannya terlalu jauh. Jadi saat ini aku sedang merindu. Merindu seseorang yang harusnya kontrak untuk menyakitiku berakhir bertahun-tahun yang lalu. Aku bahkan sempat merasa tidak merasakan apapun lagi (baik sakit atau bahagia). Tapi tiba-tiba saat namanya muncul di obrolan grup, aku merasakan ada sesuatu. Sesuatu yang aku tidak tahu itu perasaan seperti apa. Namun yang aku tahu, ini bukan sesuatu yang biasa. 

Kedatanganya masih memberikan efek kejut untukku. 

Dia ternyata masih ada.

Aku tidak tahu apakah selama ini dia hanya bersembunyi dibalik karang atau tenggelam sejenak seperti matahari dan menunggu saatnya terbit untuk kembali menyakitiku. Aku dibodohi dengan perasaan yang kukira sudah sembuh. Aku dikhianati oleh waktu yang kuhitung sejak aku merasa sudah tidak menginginkannya. Aku nyatanya masih kalah dengan kehadiranya. 

Aku ingin mengurai perasaan ini lebih detail untukmu, Ombak. 

Pertama, aku sudah tidak menginginkannya menetap seperti saat pertama ia memutuskan untuk pergi. Perasaan itu sudah lama terkubur akan kesadaran bahwa kita tidak akan pernah bersama.

Kedua. Meski aku sudah tidak menginginkannya, namun aku masih mengharapkannya untuk melihatku atau setidaknya sedikit muncul dipikiranya untuk memastikan bahwa aku masih ada. 

Ketiga. Aku masih merasa hampa saat ternyata tidak ada pergerakan apapun dari dia yang menunjukkan ia melihatku. Aku membenci kenyataan bahwa dia hanya memberiku kesunyian tanpa tindakan. Menegaskan bahwa, di antara kita sudah tidak ada apa-apa.

Keempat. Kenyataan bahwa perasaan ini masih tersisa untuknya. 

Entah dia tahu ia menyakitiku atau tidak. Kita tidak pernah membicarakan perasaan satu sama lain karena mungkin menurutnya perasaanku tidak penting. Satu-satunya waktu saat perasaan ini dibahas adalah saat perasaan ini diungkap untuk yang pertama kalinya kemudian dibuang untuk selamanya.

“Bagaimana, sih, rasanya mencintai seseorang?” tanya awan yang mulai penasaran. 

“Kau harus berjanji padaku untuk tidak membocorkannya pada cumulonimbus supaya dia tidak mendatangkan badai di hidupku!” jawabku ketus.

“Aku berjanji tidak akan menghalangi matahari terbenam setiap kali kau patah hati.”

“…”

“Jadi apa mencintai hanya akan berujung pada patah hati?” tanyanya yang semakin tertarik dengan kisah hidupku.

“Tidak tahu.” 

Aku benar-benar tidak tahu makna dari mencintainya jika yang dia tinggalkan hanya luka. 

“Kata Rintik Sedu—penulis patah hati, pertemuan hanya akan berujung perpisahan dan pelajaran. Jika jatuh cinta akan selalu di awali dengan pertemuan, maka hal terbaik yang bisa aku dapat adalah pelajaran.” kataku lirih.

“Jadi pelajaran apa yang kau dapatkan?”

“…”

“…”

Tak kusadari mataku mulai memanas dan air mulai menggenang di pelupuk mataku. Hanya butuh beberapa detik hingga derai airnya jatuh kian deras. 

Perasaan tercekat karena merindu semakin menyesakkan batin. Bertemupun bukan solusi karena saat bertemu aku akan semakin mendamba.

“Mungkin kau tidak harus memikirkannya sekarang. Atau mungkin kau tidak harus memikirkannya.” Dia berkata lamat-lamat sembari menjauhkan diri dariku untuk memberi ruang pada bintang. 

Apakah dia bersikap baik atau hanya menjalankan tugasnya di musim kemarau?

“Aku sudah tidak perlu memberi tahumu kata-kata klise soal ‘kesakitan akan berakhir dan tanpa kau sadari kau mendapatkan banyak pelajaran’, karena saat ini itu tidak akan berguna.

“Mungkin saat ini kau hanya perlu menikmati simfoni patah hati yang sudah kami tunjukkan untukmu. Kau tahu, aku bahkan tidak menghalangi bintang untukmu. Pantai salah satu tempat yang cocok untukmu melihat ratusan bintang di langit, tanpa ada polusi cahaya.”

Oh, ternyata dia memang bersikap baik untukku. 

Setelah cukup lama menunduk, aku mengadahkan kepala untuk melihat babak kedua dari simfoni patah hati semesta di malam hari. Aku mulai tersenyum sambil memeluk lutuku semakin erat. 

Tapi setidaknya perkataan Awan tadi benar. Aku masih tidak tahu ujung dari perjalanan ini apa atau bagaimana. Aku tidak harus memikirkan pelajaran yang aku dapat karena aku saja masih sakit akan kehadiranya. 

Karena aku hanya bisa menjalaninya meski aku merasa ini tak sanggup. Aku tidak ada pilihan lain selain terus berjalan. Setidaknya awan tidak akan menghalangi matahari tenggelam saat aku patah hati. 

Lihatlah kekonyolan ini. Aku bahkan berbicara dengan Awan, Ombak, dan Matahari! Tanpa aku sadari, aku sudah bersikap seperti Sukab yang tidak masuk akal. 

 


Komentar