Perempuan yang Ditinggalkan di Dalam Kereta [CERPEN #8]



Aku berdiri menatap nanar luar jendela. Ngilu di hati yang masih hangat menjalar seluruh tubuhku. Entah sudah berapa stasiun aku lewati, tapi aku masih tidak ingin beranjak dari tempat ini—aku tidak punya tenaga lagi. Orang-orang yang semakin mendesakku, kini menjadi tumpuan aku tetap berdiri.

Persetan dengan badanku yang akan memar, hatiku sudah sulit untuk disembuhkan. Dia menghancurkan hatiku seperti piring pecah yang tidak akan pernah mungkin untuk disatukan lagi.

Mungkin pada akhirnya semua akan baik-baik saja. Iya, katanya semua soal waktu. Namun untuk saat ini—detik ini, aku hanya seseorang yang patah hati dan membenci semuanya.

Dia meninggalkanku lengkap bersama kepadatan orang-orang di dalamnya.


“Nan, aku hanya tidak ingin kita saling tersakiti,” katanya setengah jam yang lalu.


Aku terus menunduk, bukan karena aku takut menatapnya. Justru aku ingin menampar pipinya sekeras yang aku bisa. Namun aku hanya bisa menahannya dengan menggenggam jemariku semakin erat.

Aku meringis, “Lalu menurutmu meninggalkanku membuat luka kita hilang?” “Bukan begitu—” katanya menghela nafas.

“…”


“Kamu benar,” kataku mulai mengangkat wajahku dan menahan emosiku sekuat yang aku bisa.


“Kalau kita pisah—ah kalau kamu meninggalkanku, kita tidak akan saling menyakiti. Karena hanya aku yang sakit.”

Aku tersenyum miris seraya menatap matanya nanar. Wajah yang satu tahun ini sangat aku rindukan. Aku menjaga wajah sialan ini penuh di kepalaku agar aku tidak menjadi jahat, agar kami tetap bersama.

 

Aku menatap matanya penuh. Perasaan sakit dan rindu yang sangat ingin aku lempar padanya. Tuhan…. Aku ingin memeluknya dan membuangnya bersamaan.

“Nan, bukan seperti itu,” katanya lirih.


Aku berdecih pelan seraya memalingkan wajahku.


“Lihat aku sebentar,” katanya memegang kedua bahuku. “Aku juga sakit asal kamu tahu. Aku sakit harus menahan rindu ingin ketemu kamu. Tidak pernah terbesit apakah kamu mendua atau bagaimana. Karena aku percaya kamu, karena pikiranku penuh akan merindukan kamu. Ingin memeluk kamu, ingin menggenggam tanganmu.

“Semua, Nan, semua yang bisa aku lakukan saat aku bisa ketemu kamu aku ingin melakukannya,”

“…”


Tatapannya yang dahulu menenangkan kini hanya tersisa rasa lelah dan ingin menyerah. Dahulu saat aku ingin menyerah dengan mimpi-mimpiku, hanya Pandu yang menatapku dengan yakin. Saat aku khawatir tatapanya memberiku ketenangan.

Namun kini saat aku yakin, dia menyerah.


“Semakin aku merindukan kamu semakin aku sadar kalau ini enggak baik-baik aja—”


“Apa salah dari saling merindu, Ndu? Aku selingkuhan kamu? Aku simpanan kamu? Aku ini pacar kamu, Pandu. Apa yang salah?” ungkapku terengah-engah.

“Waktu yang salah, Kinan. Aku-kamu saling mencintai tapi kita berada dalam waktu di mana kita sedang memerjuangkan mimpi kita masing-masing.”

“Wah, sekarang kamu menyalahkan waktu? Sepuluh tahun lagi kita bertemu kamu akan tetap menyalahkan waktu karena kamu memang tidak berjuang untuk hubungan ini.”

“Aku sudah!” katanya menyamai nada bicarku.


“Tapi ternyata terlalu menyakitkan untukku,” sambungnya melemah.

 

“Ahh Jadi menjalin hubungan dengan aku selama ini membuat kamu tersiksa?”


“Nan, aku tersiksa saat kita terpisah. Aku selalu tersiksa saat kita berselisih paham hanya karena kita tidak saling melihat kebenarannya.”

“…”


“Kenapa tidak kita permudah?”


“Dengan meninggalkan aku yang masih sangat mencintai kamu?” “Aku juga mencintai kamu.”

“Bohong.”


Dia mengusap mukanya asal, “Hubungan ini terlalu berat buat aku, Nan. Aku tidak ada saat kamu butuh aku itu membuat aku benar-benar sesak. Aku hanya bisa mendengar kabar kamu sakit dari orang lain itu membuat aku sangat tidak berguna. Aku melepas kita supaya kita bisa menemukan orang yang membutuhkan kita.”

“Tapi aku butuh kamu, Pandu—”


“Kinan, aku tidak pernah ada saat kamu membutuhkan aku.”


“I don’t care, apakah kamu di sini atau enggak, apakah kamu balas pesanku saat itu juga atau

enggak. Tapi aku nggak mau pisah, Pandu,” kataku tegas. “…”

Aku menarik nafas sedalam-dalamnya untuk mengatakan ini seraya bertumpu sebelah tangan pada pundaknya. Aku benar-benar tidak berdaya dan—Tuhan aku tidak kuat jika ini benar-benar berakhir.

“Di sini sakit Pandu kalau kamu memilih pergi,” ungkapku serak seraya meremas baju di dadaku.

Aku menunduk dan menangis dipelukannya. Memukulnya, meremas bajunya, dan berharap Pandu juga merasakan sakit yang aku rasa.

 

Selang beberapa saat, aku kian menyadari jika pelukannya kini terasa berbeda. Dia bukan tidak ingin menyakitiku, tapi dia sudah tidak menginginkanku. Keadaan ini terlalu sulit untuk menjaga bunga asmara kita tetap mekar. Pelukannya yang dahulu paling hangat, kini semakin dingin dan menusuk. Seolah membuatku sadar jika jalan ini terlalu terjal untuk aku dan Pandu perjuangkan.

Mungkin Pandu sudah cukup lelah untuk memperjuangkan kita.


Setelah aku yakin bahwa semua ini memang tidak bisa dipaksakan, aku juga menyerah. Aku menjauhkan diri dari pelukannya, namun dia tetap menatapku. Bagiku saat ini, sorotan mata Pandu masih sangat meneduhkan untukku.

Namun kini, aku harus rela melepaskannya.


“Kamu benar lagi,” kataku di sela-sela pelukannya yang merenggang.“Kalau kereta kita sudah tidak nyaman untuk apa diteruskan?”

Setelah itu hubungan kami selesai, Pandu turun di stasiun terdekat. Meninggalkanku lengkap bersama kepadatan orang-orang di dalamnya. Orang-orang yang penuh sesak dan semakin menghimpitku.

Sesaat aku menyadari bahwa, Pandu tidak benar-benar mencintaiku.


Jika dia tidak ingin menyakitiku, dia akan mengajakku untuk turun dan terbebas dari belenggu kepadatan gerbong.

Jika dia ingin membuatku lega, maka dia akan membantuku untuk menghirup udara bebas. Karena mungkin tujuan Pandu tiba-tiba berubah.

Karena mungkin kereta ini terlalu membosankan dan memuakkan untuknya.


Dan aku hanya seorang perempuan yang ditinggalkan di dalam kereta, lengkap bersama kepadatan orang-orang di dalamnya.


Komentar