Bisa Gak sih Kebahagiaan Kita Gak Bergantung Sama Orang Lain?

foto diambil dari freepik.com

Pernah gak sih kita ngerasa kalau terkadang suasana hati kita itu tergantung dari cara orang lain memperlakukan kita. Misalnya, kita lagi pingin curhat sama teman tapi teman yang kita curhatin gak lagi ada atau respon mereka yang menurut kita terkesan kurang peduli. Padahal mereka-mereka ini adalah sohib kita alias ‘konco kenthel saklawase’. Contoh lain, waktu kita lagi mengunggah sesuatu berharap banget banyak respon dari teman-teman lain seperti likes atau comment, tapi ternyata notifikasi IG kita sepi kayak kuburan.

Banyak dari kita mengharapkan perhatian, jawaban, reaksi, atau perilaku tertentu dari orang lain. Tetapi saat harapan kita gak dipenuhi, kita mau gak mau akan menelan pahitnya kekecewaan, Efek yang ditimbulkan dari kekecewaan ini cenderung mengarah ke emosi negatif. Biasanya suasana hati kita langsung anjlok dan kita makin merasa dikucilkan. Kadang-kadang kita merasa gak berharga karena gak ada orang yang “sepeduli itu” sama kita atau kita itu gak “seberharga itu” di mata orang-orang.

Nah, pikiran-pikiran negatif ini jika semakin menumpuk malah berakibat buruk sama mental kita lho. Gak menutup kemungkinan kalau saking bergantungnya kita sama orang lain malah bikin kita jadi depresi.

Aku sendiri kadang capai bersikap seperti itu. Bisa gak sih kita gak usah terlalu berharap sama orang lain? Bisa gak, kalau kebahagiaan kita itu gak tergantung dari cara orang lain bersikap sama kita? Kan kita tahu ya, berharap sama manusia itu lebih banyak kecewanya dari pada bahagianya. Huhuhu :”

Apa Itu Bahagia?

foto diambil dari freepik.com

Kalau kata Aristoteles, kebahagiaan adalah tujuan tertinggi kehidupan manusia. Untuk menjadi tujuan akhir, sesuatu tersebut harus final (apa yang diinginkan dalam dirinya sendiri adalah sesuatu yang layak untuk dikejar dan bukan demi sesuatu yang lain) dan mandiri (self-sufficient) (kebahagiaan sempurna dibuat oleh dirinya sendiri yang akan membuat hidupnya diinginkan dan tidak kekurangan apa-apa). (Nicomachean Ethics, 1097a30-34).

Kebahagiaan itu muncul saat kita merasakan adanya emosi positif yang kita dapatkan saat melakukan sesuatu. Ryan & Deci (2001) mengatakan, kalau kesenangan, kenyamanan, rasa syukur, harapan dan inspirasi adalah contoh emosi positif yang meningkatkan kebahagiaan kita dan mengajak kita untuk berkembang. 

Kebahagiaan yang Bergantung dari Orang Lain

Seperti yang aku bilang di awal, acapkali kita sering menggantungkan kebahagiaan kita sendiri lewat respon orang lain memperlakukan kita. Secara tidak sadar, kita menuntut orang lain untuk bertindak sesuai sama apa yang kita mau untuk mencapai bahagia versi yang kita pingin. Kita membutuhkan bantuan dari orang lain untuk mencapai kebahagia itu. 

Ada beberapa alasan yang menjadikan bahagia kita bergantung dari orang lain. 

a. Butuh Validasi

foto diambil dari freepik.com

Sebenarnya wajar sih, kalau kita menginginkan pendapat/pencapaian kita divalidasi oleh orang disekitar. Kalau kata Yuki Kato “Self Love aja kurang, gue butuh support system.” Selain itu, dengan adanya validasi dari orang-orang kita merasa nilai kita bertambah di mata orang lain. 

Validasi itu muncul karena kita pingin direspon oleh orang. Bisa pujian dari orang, pembenaran, atau dukungan. Jika keinginan ini tidak terpenuhi, maka satu hal yang akan menanti di ujung validasi ini, kekecewaan.

Keinginan divalidasi ini semakin parah di era media sosial. Sebagian orang menginginkan validasi agar menghindari perasaan terisolasi dan terluka (Lieberman, 2013 ; Tjepkema, 2019). Kebutuhan validasi yang tak terkontrol akan menciptakan kecemasan, depresi, dan harga diri yang rendah.

b. Kebiasaan Bergantung pada Orang Lain

foto diambil dari freepik.com

Siapa coba yang gak seneng kalau orang perhatian ke kita? Biasanya para cewek, kegiatan seperti ganti tabung gas, ganti galon, ganti lampu, temenin makan, ke kamar mandi, curhat, dan tetekbengek lain cenderung membutuhkan orang lain. Karena hal ini udah jadi kayak “budaya cewek”, kita jadi terbiasa selalu bergantung sama orang lain.

Waktu kita bisa jadi banyak tersita karena harus nunggu orang itu datang, terus kita jadi badmood karena kelamaan, jadinya kebahagiaan kita tergantung dari orang tersebut. Padahal kita sendiri tuh bisa mengatasinya sendiri.

Kalau kita banyak bergantung sama orang lain, efeknya kita takut ditinggalkan, kita cemas dan tertekan, dan jika orang tersebut keberatan, kita sibuk menyalahkan diri sendiri. Kita gak bisa bebas mengekspresikan yang kita mau karena terlalu sungkan dan cenderung banyak menyesuaikan diri dengan orang lain.

c. Kurang Percaya Diri

foto diambil dari freepik.com

Kurangnya rasa kepercayaan pada potensi diri seringkali membuat kita bersembunyi dibalik tameng orang lain.

“Aku rapuh, Aku butuh senderan.”

Hal-hal kayak gini yang bikin kita merasa diri kita lemah dan untuk mendapat kekuatan kita butuh orang lain. Padahal senderan itu juga belum tentu bertahan selamanya dan belum tentu akan sekuat yang kita kira. 

Dengan rasa percaya terhadap diri sendiri, kita fokus sama kekuatan yang kita punya. Kita gak perlu susah-susah mencari orang lain untuk bantu bikin kita seneng, karena kita sendiri udah percaya kalau kita bisa bikin diri sendiri senang.

Kebanyakan dari kita takut dan khawatir untuk menghadapi masalah. Mencoba memperkuat rasa percaya diri itu seolah punya self power untuk menghadapinya. Coba deh, percayakan diri sendiri untuk mendengarkan ceritamu. Kemudian beranjak untuk mengutarakan pendapat. Lama-kelamaan akan terbentuk interaksi dalam diri yang lebih intim, hal itu akan memupuk rasa percaya diri. Secara sadar kita akan tahu kalau kekuatan kebahagiaan datangnya dari diri sendiri. Kita mampu untuk menghadapi masalah dan menjemput kebahagiaan. 

d. Self Esteem Rendah

foto diambil dari freepik.com

Self Esteem
adalah menerima diri tanpa syarat dengan merasa layak menjalani hidup serta mencapai kebahagiaan dalam hidup. Stantrock (2014) sendiri bilang kalau self esteem itu bagaimana individu memandang nilai dirinya dan mengevaluasi diri secara umum. Dalam Youtube Satu Persen juga pernah di bahas soal Self Esteem ini. Berikut videonya, 


Video tersebut memberi kita pandangan kalau untuk mencintai dan menghargai diri sendiri semuanya ada dalam kontrol diri kita. 

Misalkan ada orang yang nggak suka dengan kita, kita punya banyak pilihan untuk tetap menjalani hidup bahagia. Kita bisa tanya sama orang tersebut kurangnya kita di mana dan coba untuk memperbaikinya. Dengan pikiran yang rasional kita bisa menilai apakah omongan orang itu ada benarnya atau cuma kata-kata gak mutu. Lalu kita bisa memilih untuk mengabaikannya. 

Jadi mau kita di-bully, mau curhatan kita gak ada yang dengerin, gak ada yang menguatkan saat lagi terpuruk, hal itu gak akan berpengaruh besar sama kebahagiaan kita. Karena kita layak mendapatkan kebahagiaan tanpa harus bergantung dari tindakan orang lain terhadap kita. 

Kalau kamu masih kesulitan dalam mengontrol diri sendiri atau pingin tahu maunya kita tuh apa,  kalian bisa langsung menghubungi layanan konsultasi dari Satu Persen berupa Mentoring Satu Persen dan Konseling Satu Persen. Di sana tersedia banyak banget mentor dan konselor berpengalaman yang akan bantu kalian untuk mengontrol diri dan keinginan supaya lebih menghargai diri dan mendapatkan kebahagiaan lewat diri sendiri tanpa harus bergantung dari orang lain. 

Self Sufficient

foto diambil dari freepik.com

Manusia itu dasarnya adalah makhluk sosial. Dari zaman purba pun, untuk memperoleh makanan mereka cenderung bekerja sama. Tapi apa untuk masalah kebahagiaan itu gak boleh bergantung sama orang lain?

Coba kita pikir, zaman purba dengan berburu bersama kita dapat makanan, dengan makan kita kenyang, kenyang akan membawa kebahagiaan, jadi kebahagiaan juga terhubung dengan orang lain. Lalu waktu sekarang, mendapatkan pendapat positif mengenai diri kita dari orang lain kan juga bisa meningkatkan rasa percaya diri kita. Alhasil kita juga merasa senang akibat dari orang lain.

Tapi bagaimana caranya hal-hal eksternal yang cenderung negatif gak sampai masuk untuk merobohkan kebahagiaan kita? 

Self sufficient, yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dirinya dengan kemampuan pribadi. Jadi fokus untuk memenuhi kebahagiaan sendiri dengan apa yang selama ini kita punya. Kita fokus sama potensi-potensi yang ada dalam diri kita. Kita fokus untuk mengenali diri kita lebih jauh. Di saat kecemasan melanda, alih-alih cari orang buat nampung curhatan, lebih baik cerita ke diri sendiri dan ajak diri sendiri untuk berfikir kritis dengan masalah itu. 

Dengan self sufficient kita akan merasa cukup dengan apa yang kita punya. Karena kebahagiaan terletak pada kemampuan individu untuk merasa cukup dan bersyukur atas apa yang dimilikinya. Percuma kalau duit kita banyak tapi kita gak bisa mensyukurinya, karena kita akan terus-terusan merasa kekurangan. Mengontrol diri sendiri itu penting, kita tahu kapan harus melangkah dan kapan harus berhenti. Saat kita secara emosi paham dengan kognisi, afeksi, dan kinerja diri maka kita akan merasakan keutuhan dan kesejahteraan yang hakiki. Jadi, gak perlu validasi orang lain karena kita punya pusat penghargaan terhadap diri yang menjadi modal kekuatan untuk menghadapi hal-hal negatif.

Efeknya apa? Kita gak perlu lelah mencari validasi, punya kontrol diri yang bagus, lebih kreatif karena mengenal potensi diri, punya self love yang baik dan menjadikan diri lebih autentik. Kita gak akan merasa kesepian walau sendirian, akan merasa kuat walau gak ada yang bilang ‘yuk bisa yuk!’, merasa lengkap walau belum ada yang melengkapi (alias pasangan. hihihi >,<). Pokoknya rasa nyaman justru datang dalam diri sendiri.

Dengan self sufficient kita melihat diri lewat sudut pandang yang lebih intim. Apa mau kita? Apa tujuan kita? Apa potensi kita? Apa yang bisa kita selesaikan sendiri? Kita bisa berpikir lebih rasional. Saat orang lain sedang baik mau mendengarkan cerita kita, kita bisa memperoleh kebahagiaan. Namun saat gak ada satu orangpun yang mau mendengarkan kita, kita bisa berpikir dengan bijak. Mungkin mereka sedang sibuk, mungkin memang mereka sudah bosan mendengarmu. Tapi, karena kita punya diri kita, kita tidak perlu risau merasa kesepian, kita bisa journaling—cerita ke diri sendiri. Hal tersebut malah membuat kita mengenali diri sendiri dan menjalani hidup seutuhnya.

#SatuPersenBlogCompetition
#HidupSeutuhnya



Daftar Pustaka


Jantz, G. L. (2016, January). 9 Things Dependent People DO. Retrieved from Phychology Today: https://www.psychologytoday.com/us/blog/hope-relationships/201601/9-things-dependent-people-do

Lieberman, M. D. (2013). Social : Why Our Brains Are Wired To Connect. New York : Crown Publishers

S. G. (2019, July). Stop Seeking Validation. Retrieved from Psychology Today: https://www.psychologytoday.com/intl/blog/addiction-and-recovery/201907/stop-seeking-validation-others

Ryan, R. M., & Deci, E.L. (2001) On Happiness and Human Potentials : A review of research on hedonic and eudaimonic well-being. Annual Reviews Psychology (2001) 52 : 141-66

Smith, L. (2021, November ). How To Be Emotionally Independent And Stop Relying On Others For Happiness. Retrieved from A Conscious Rethink: https://www.aconsciousrethink.com/9927/emotional-independence/

Komentar