Pernahkah kalian memiliki waktu terlama dalam
hidup kalian? Aku punya. Sepersekian detikku saat mata kami tidak sengaja
bertemu. Mata yang menjadi lubang hitam, menarik perhatianku penuh untuk
menelisik jengkal demi jengkal dirinya. Sepersekian detik yang membuatku tahu,
bahwa ia memiliki mata yang jernih dan teduh. Oh ya, matanya sipit dan saat
tersenyum ia punya itu, “smile eyes”.
Tak ayal bahwa setiap orang akan selalu tersenyum penuh ketulusan saat menatapnya.
Ia memiliki telinga yang berbeda denganku, lebih lebar dan runcing diatasnya.
Secara ilmiah, telinga ini membantu lebih banyak menangkap suara meski angin
berhembus cukup kencang. Aku sangat berharap ia juga selalu bisa mendengar isi
hatiku—astaga menjijikan sekali aku ini.
Tubuhnya tak terlalu tinggi, begitupun dengan laki-laki sejenisnya. Bentuk
tubuh ini memiliki perbandingan luas penampang tubuh dengan volume tubuh yang
kecil, membuat panas badan yang hilang dari tubuh mereka tak terlalu besar saat
berada diudara dingin—Mars meskipun
suhunya mulai naik namun jauh lebih dingin dari bumi, sekitar 34°C. Ia juga
berkata kalau tak suka rambut panjang, dari kecil hingga saat ini, ia selalu
setia dengan rambut sebahunya. “Biar keliatan awet muda terus, Pra,” ucapnya.
Aku
bertemu denganya saat dia masih menjadi sesuatu yang sangat kecil. Sebelumnya
aku tidak pernah menyangka dia menjadi manusia yang membuatku jatuh cinta dari
ratusan embrio yang aku buat. Kehidupan di bumi yang semakin waktu semakin
mengarah kepada kemusnahan, menghasilkan sesuatu pilihan yang berat bagi para ilmuwan.
Kloning kini dilegalkan. Hal ini sejalan dengan ide manusia gila berabad-abad
yang lalu untuk memindahkan umat manusia ke Mars. Namun, keadaan di Mars sangat
tidak memungkinkan untuk manusia saat ini menetap di sana. Morfologi dan
fisiologi kami bisa langsung berhenti berfungsi hanya dalam hitungan mikro
detik. Alhasil ilmuwan mau tak mau merakit manusia baru untuk bisa tinggal di
Mars. Ya, ini sungguh bertentangan dengan kode etik yang dulu diagung-agungkan
sebagai umat manusia. Manusia yang membuat manusia, harus
terpaksa terjadi untuk tetap mempertahankan peradaban manusia. Jika aku adalah homo sapiens, maka manusia Mars kini
adalah quod augusto, ‘Kehidupan yang agung’.
Butuh
ratusan tahun untuk mengabulkan ide gila yang menjadi satu-satunya jalan agar
peradaban manusia tetap ada. Tentunya dengan berkali-kali kegagalan dan
berkali-kali hujatan. Jauh sebelum aku, ilmuwan yang masih mempelajari kloning
manusia di bunuh habis-habisan. Kemudian pernyataan gila dari seorang presiden
negara adi daya Amerika Serikat Robert Welingstone, mengejutkan semua pihak
dari seluruh dunia. Dia dikecam habis-habisan karena membuat kebijakan baru
bagi para ilmuwan Amerika untuk membuat manusia jenis baru yang bisa hidup di
Mars. Hal ini juga berlaku untuk pengembangan alat-alat transportasi antariksa
dan turut mengubah Mars agar layak huni.
Lambat
laun banyak negara juga merubah orientasinya untuk menciptakan kehidupan baru.
Bioteknologi dikembangkan habis-habisan. Pengembangan Stem Cell embrionik yang
dulu terlarang kode etik kini juga dilegalkan untuk menunjang metode kloning.
Meski begitu kode etik untuk tidak menggunakan sembarangan manusia sebagai
eksperimen tetap berlaku. Disamping keadaan alam yang kian hari kian
mengerikan, wabah penyakit juga terus bermunculan akibat efek samping dari
bioteknologi. Hewan-hewan aneh hasil dari eksperimen gagal kami muncul. Dunia
ini semakin gila seolah manusia kini
bisa menciptakan sesukanya.
“Pra, kenapa badanku lebih kecil dan bulat?”
tanya SeAnna padaku.
“SeAnna suhu di Mars sangat dingin, tubuh
kecil membantumu untuk beradaptasi dengan suhu di sana.”
Ini seperti keadaan awal bumi terbentuk yang
suhunya masih dingin. Manusia quod augusto
memiliki bentuk mirip dengan manusia purba namun dengan segala penyesuaian
agar masih sesuai dengan standar kecantikan saat ini. Menggabungkan DNA hewan
untuk membuatnya bertahan di Mars. Pernah ada ilmuwan yang memasukkan DNA
ubur-ubur listrik dan belut listrik untuk membuat manusia menjadi sumber
listrik. Tapi hal itu dilarang karena dikhawatirkan akan menumbuhkan kekacauan.
Kecerdasan quod augusto tidak lebih pintar dari pada kami. Ya, kami tidak
ingin membuat masalah baru karena harus bertarung dengan manusia jenis baru.
Sampai saat ini cahaya adalah kecepatan
tercepat, dan kami tidak bisa membuat manusia akan tetap berbentuk manusia
meski mereka bergerak dengan kecepatan cahaya. Waktu tercepat yang bisa quod augusto raih saat ini sekitar empat
bulan untuk sampai ke Mars. Saat ini sudah ribuan quod
augusto yang berhasil di terbangkan ke Mars untuk memulai peradaban awal di
sana. Bahkan Mars kini jauh dari buku-buku ensiklopedia astronomi berabad-abad
lalu yang gersang, merah, tanpa air, tanpa kehidupan. Mungkin Bumi yang kini
menyerupai Mars di masa lalu.
Aku
menyadari bahwa kami bukan hanya jauh, namun juga berbeda. Ini lebih sulit
dibanding LDR kutub utara-selatan dan beda agama. Dia berkata padaku, kenapa aku tidak
mengkloning diriku agar sama sepertinya?
“Kita bisa bangun kehidupan baru di Mars
sama-sama, Pra,” ucapnya.
Tidak SeAnna, ini jauh lebih rumit dibanding
harus membuat berjuta-juta embrio baru. Ini tentang perasaanku dan waktu yang
aku habiskan sepersekian detik untuk menatapmu. Ini tentang aku yang
mencintaimu dengan diriku. Jika aku
berubah maka perasaanku untukmu juga berubah. Dan ini bukan bagaimana aku ingin
melupakanmu saat kamu sudah tidak ada karena justru sebaliknya.
Lagi pula SeAnna, hidup di sini adalah
kehidupanku dan rumahku. Aku tidak ingin menjadi manusia yang lebih serakah
yang mempertahankan kehidupan demi keabadianku sendiri. Jika tiba masaku, aku
tidak berhak untuk mengusik waktu hidupku. Menjalani kehidupan dengan sepersekian detik mata kita bertemu
sudah cukup bagiku.
“Aku akan sebisa mungkin mengunjungimu ke Bumi
nanti,” katanya.
“SeAnna, kita memang terlalu jauh, tapi aku
tidak pernah kemana-mana,” jawabku.
“Pra, apa kamu tidak bisa mengembalikan aku
seperti dirimu?”
“SeAnna, kamu ingin dikembalikan sebagai apa?”
“Sebagai manusia yang bisa hidup bersamamu.”
“Sudah kubilang, aku tidak kemana-mana.”
“Aku yang kemana-mana Pra, aku yang meninggalkanmu,” katanya menangis dan
menangkup wajah mungilnya dengan kedua tanganya.
Ia semakin tersedu. Berkali-kali tanganya
mengusap air matanya yang jatuh hingga kedua kelopak matanya kini merah.
SeAnna, kulit bawah matamu tipis, jangan
menyakiti dirimu.
“Pra apa aku akan menjadi alien?” tanya SeAnna
padaku di sela tangisannya.
“Kalau kamu sudah pindah ke Mars, ya kamu
alien, Anna.”
“Ewh! Mengerikan Pra! Aku tidak ingin menjadi
alien,” dia masih bisa tertawa di tengah suaranya yang parau.
“Lalu kamu mau hidup di sini?” tanyaku.
“Tidak bisakah Pra aku menjadi pengecualian?”
tanyanya lagi.
“Kalau kamu menjadi pengecualian, kamu akan
dikucilkan di sini.”
“Ya tidak apa-apa. Aku bisa hidup denganmu.”
“SeAnna kamu dibuat untuk hidup di Mars.”
Lalu ia terdiam sejenak. Oh tidak, aku sudah
salah berkata dengan SeAnna.
“Pra kamu tahu perbedaan sebenarnya antara
kamu dan aku?” tanyanya sambil menundukkan pandangannya. Wajah cantinya kini
tertutup dengan surai hitam miliknya. Aku menyelipkan rambutnya lalu menangkup
wajahnya agar menatapku.
“Apa?” tanyaku penasaran.
Dia terdiam cukup lama menatapku. Aku sudah
bilang belum, kalau SeAnna memiliki tatapan yang meneduhkan dan menenangkan.
Jika iya, maafkan aku yang tak bisa mengatakannya hanya sekali.
“Kamu punya pilihan sesukamu, membuat aku
seperti kamauanmu dan aku tidak.”
“Ya, jika kamu sudah hidup di sana, jangan
biarkan kemauanmu menguasai dirimu penuh.”
“Akan aku ingat, Pra.”
Aku tidak pernah tidak menangis saat kita
bersama, setidaknya hanya di akhir perjumpaan kami. Karena kami tahu bagaimana
ujung dari perasaan ini. Aku tidak ingin menutupi kalau aku juga merasa sesak
saat waktunya tiba. Lalu kami akan menangis bersama, saling menguatkan satu
sama lain, dan akhirnya kami tersenyum untuk semua yang sudah kami lalui.
Aku memeluknya erat seperti kita tak akan
pernah bertemu lagi—ah kita memang tidak akan bertemu lagi. Baik aku ganti, aku
memeluknya erat sepenuhnya aku sebagai diriku.
Aku hanya ingin dia merasakan aku
memeluknya. Aku tidak ingin memberinya sepenuh hatiku, tidak ini terlalu
berat baginya.
“SeAnna, kata temanku Mars kini sudah ada lautan.”
“Pra di Bumi saja laut sudah melahap sebagian
darinya,” jawabnya.
Benar, bumi kini penuh akan lautan. Pemanasan
global memang tidak bisa dihindari. Meski matahari masih beberapa milyar tahun
lagi untuk memasuki fase akhirnya, namun Bumi tak mampu membuatnya bertahan
lebih lama lagi. Kini setiap tempat adalah tempat sampah. Sudah terlalu kolot
untuk menyalahkan sesama manusia karena ulah serakahnya. Karena tujuan kami
sudah berbeda, menciptakan kehidupan baru.
“Di sana pasti berbeda SeAnna. Lebih biru dan
bersih dari pada di sini. Kamu tahu buku ensiklopedia ratusan tahun lalu yang
aku awetkan?”
Dia mengangguk.
“Jantungku berdegub kencang saat aku
melihatnya. Hatiku menghangat dan merasa tenang, seolah aku berenang di sana.”
“Apa namaku juga berarti ‘laut’, Pra?”
Aku menoleh dan tersenyum padanya. Apa dia
baru menyadarinya?
“Kamu tahu artinya, kan?” tanyaku memastikan.
“Mmm… Laut, kan?”
“SeAnna, kamu tahu apa yang aku maksud.”
Dia hanya membalasku dengan rengkuhannya
disekeliling leherku. Kami menikmati waktu terakhir kami di Greymouth Breakwater,
Selandia Baru. Negara ini menjadi satu-satu negara dengan laut terbersih saat
ini. Meski banyak daratan tenggelam, Selandia Baru mengalami pengangkatan
vulkanik dan jaraknya yang dekat dengan Kutub Selatan membuatnya bertahan.
SeAnna, aku tahu jika hal yang aku lakukan ini
tidak benar. Aku membuatmu dari beberapa DNA hewan hanya untuk membuat
kehidupan ini abadi. Seolah kamu adalah buah dari keserakahan dan ketamakan
kami. Namun aku tetap berterimakasih karena kamu berhasil hidup dari ratusan
embrio yang rapuh. Kamu memberiku tatapan seluas lautan, mengisyaratkan bahwa
ada sisi lain dari dunia ini yang masih luas. Kamu membuat hatiku tenang seolah
aku melayang ditengah lautan matamu yang jernih.
SeAnna, lautku, biruku, ketenanganku. Matahari
yang melewati horizon saat ini, bukan matahari terakhir yang kita lihat
bersama. Ombak yang dengan jernih kamu dengarkan saat ini, bukan deburan terakhirnya.
Namun maaf, jika perjalanan kita harus berakhir saat ini. Ingatlah bahwa aku tidak kemana-mana, meski kamu akan
pindah lagi ke ujung tata surya. Aku tidak akan menitipkan perasaanku padamu—untuk
kamu tanam dan membiarkannya tumbuh di sana. Karena SeAnna, aku tidak ke mana-mana. Aku selalu ada sebagai
diriku untukmu.
Komentar
Posting Komentar