Evolusi Hati [Cerpen #7]

Pernahkah kalian memiliki waktu terlama dalam hidup kalian? Aku punya. Sepersekian detikku saat mata kami tidak sengaja bertemu. Mata yang menjadi lubang hitam, menarik perhatianku penuh untuk menelisik jengkal demi jengkal dirinya. Sepersekian detik yang membuatku tahu, bahwa ia memiliki mata yang jernih dan teduh. Oh ya, matanya sipit dan saat tersenyum ia punya itu, “smile eyes”. Tak ayal bahwa setiap orang akan selalu tersenyum penuh ketulusan saat menatapnya. Ia memiliki telinga yang berbeda denganku, lebih lebar dan runcing diatasnya. Secara ilmiah, telinga ini membantu lebih banyak menangkap suara meski angin berhembus cukup kencang. Aku sangat berharap ia juga selalu bisa mendengar isi hatiku—astaga menjijikan sekali aku ini. Tubuhnya tak terlalu tinggi, begitupun dengan laki-laki sejenisnya. Bentuk tubuh ini memiliki perbandingan luas penampang tubuh dengan volume tubuh yang kecil, membuat panas badan yang hilang dari tubuh mereka tak terlalu besar saat berada diudara dingin—Mars meskipun suhunya mulai naik namun jauh lebih dingin dari bumi, sekitar 34°C. Ia juga berkata kalau tak suka rambut panjang, dari kecil hingga saat ini, ia selalu setia dengan rambut sebahunya. “Biar keliatan awet muda terus, Pra,” ucapnya.

                Aku bertemu denganya saat dia masih menjadi sesuatu yang sangat kecil. Sebelumnya aku tidak pernah menyangka dia menjadi manusia yang membuatku jatuh cinta dari ratusan embrio yang aku buat. Kehidupan di bumi yang semakin waktu semakin mengarah kepada kemusnahan, menghasilkan sesuatu pilihan yang berat bagi para ilmuwan. Kloning kini dilegalkan. Hal ini sejalan dengan ide manusia gila berabad-abad yang lalu untuk memindahkan umat manusia ke Mars. Namun, keadaan di Mars sangat tidak memungkinkan untuk manusia saat ini menetap di sana. Morfologi dan fisiologi kami bisa langsung berhenti berfungsi hanya dalam hitungan mikro detik. Alhasil ilmuwan mau tak mau merakit manusia baru untuk bisa tinggal di Mars. Ya, ini sungguh bertentangan dengan kode etik yang dulu diagung-agungkan sebagai umat manusia. Manusia yang membuat manusia, harus terpaksa terjadi untuk tetap mempertahankan peradaban manusia. Jika aku adalah homo sapiens, maka manusia Mars kini adalah quod augusto, ‘Kehidupan yang agung’.  

                Butuh ratusan tahun untuk mengabulkan ide gila yang menjadi satu-satunya jalan agar peradaban manusia tetap ada. Tentunya dengan berkali-kali kegagalan dan berkali-kali hujatan. Jauh sebelum aku, ilmuwan yang masih mempelajari kloning manusia di bunuh habis-habisan. Kemudian pernyataan gila dari seorang presiden negara adi daya Amerika Serikat Robert Welingstone, mengejutkan semua pihak dari seluruh dunia. Dia dikecam habis-habisan karena membuat kebijakan baru bagi para ilmuwan Amerika untuk membuat manusia jenis baru yang bisa hidup di Mars. Hal ini juga berlaku untuk pengembangan alat-alat transportasi antariksa dan turut mengubah Mars agar layak huni.

                Lambat laun banyak negara juga merubah orientasinya untuk menciptakan kehidupan baru. Bioteknologi dikembangkan habis-habisan. Pengembangan Stem Cell embrionik yang dulu terlarang kode etik kini juga dilegalkan untuk menunjang metode kloning. Meski begitu kode etik untuk tidak menggunakan sembarangan manusia sebagai eksperimen tetap berlaku. Disamping keadaan alam yang kian hari kian mengerikan, wabah penyakit juga terus bermunculan akibat efek samping dari bioteknologi. Hewan-hewan aneh hasil dari eksperimen gagal kami muncul. Dunia ini semakin gila seolah manusia kini bisa menciptakan sesukanya.

“Pra, kenapa badanku lebih kecil dan bulat?” tanya SeAnna padaku.

“SeAnna suhu di Mars sangat dingin, tubuh kecil membantumu untuk beradaptasi dengan suhu di sana.”

Ini seperti keadaan awal bumi terbentuk yang suhunya masih dingin. Manusia quod augusto memiliki bentuk mirip dengan manusia purba namun dengan segala penyesuaian agar masih sesuai dengan standar kecantikan saat ini. Menggabungkan DNA hewan untuk membuatnya bertahan di Mars. Pernah ada ilmuwan yang memasukkan DNA ubur-ubur listrik dan belut listrik untuk membuat manusia menjadi sumber listrik. Tapi hal itu dilarang karena dikhawatirkan akan menumbuhkan kekacauan.  Kecerdasan quod augusto tidak lebih pintar dari pada kami. Ya, kami tidak ingin membuat masalah baru karena harus bertarung dengan manusia jenis baru.

Sampai saat ini cahaya adalah kecepatan tercepat, dan kami tidak bisa membuat manusia akan tetap berbentuk manusia meski mereka bergerak dengan kecepatan cahaya. Waktu tercepat yang bisa quod augusto raih saat ini sekitar empat bulan untuk sampai ke Mars. Saat ini sudah ribuan  quod augusto yang berhasil di terbangkan ke Mars untuk memulai peradaban awal di sana. Bahkan Mars kini jauh dari buku-buku ensiklopedia astronomi berabad-abad lalu yang gersang, merah, tanpa air, tanpa kehidupan. Mungkin Bumi yang kini menyerupai Mars di masa lalu.

                Aku menyadari bahwa kami bukan hanya jauh, namun juga berbeda. Ini lebih sulit dibanding LDR kutub utara-selatan dan beda agama.  Dia berkata padaku, kenapa aku tidak mengkloning diriku agar sama sepertinya?

“Kita bisa bangun kehidupan baru di Mars sama-sama, Pra,” ucapnya.

Tidak SeAnna, ini jauh lebih rumit dibanding harus membuat berjuta-juta embrio baru. Ini tentang perasaanku dan waktu yang aku habiskan sepersekian detik untuk menatapmu. Ini tentang aku yang mencintaimu dengan diriku. Jika aku berubah maka perasaanku untukmu juga berubah. Dan ini bukan bagaimana aku ingin melupakanmu saat kamu sudah tidak ada karena justru sebaliknya.

Lagi pula SeAnna, hidup di sini adalah kehidupanku dan rumahku. Aku tidak ingin menjadi manusia yang lebih serakah yang mempertahankan kehidupan demi keabadianku sendiri. Jika tiba masaku, aku tidak berhak untuk mengusik waktu hidupku. Menjalani kehidupan dengan sepersekian detik mata kita bertemu sudah cukup bagiku.

“Aku akan sebisa mungkin mengunjungimu ke Bumi nanti,” katanya.

“SeAnna, kita memang terlalu jauh, tapi aku tidak pernah kemana-mana,” jawabku.

“Pra, apa kamu tidak bisa mengembalikan aku seperti dirimu?”

“SeAnna, kamu ingin dikembalikan sebagai apa?”

“Sebagai manusia yang bisa hidup bersamamu.”

“Sudah kubilang, aku tidak kemana-mana.

“Aku yang kemana-mana Pra, aku yang meninggalkanmu,” katanya menangis dan menangkup wajah mungilnya dengan kedua tanganya.

Ia semakin tersedu. Berkali-kali tanganya mengusap air matanya yang jatuh hingga kedua kelopak matanya kini merah.

SeAnna, kulit bawah matamu tipis, jangan menyakiti dirimu.

“Pra apa aku akan menjadi alien?” tanya SeAnna padaku di sela tangisannya.

“Kalau kamu sudah pindah ke Mars, ya kamu alien, Anna.”

“Ewh! Mengerikan Pra! Aku tidak ingin menjadi alien,” dia masih bisa tertawa di tengah suaranya yang parau.

“Lalu kamu mau hidup di sini?” tanyaku.

“Tidak bisakah Pra aku menjadi pengecualian?” tanyanya lagi.

“Kalau kamu menjadi pengecualian, kamu akan dikucilkan di sini.”

“Ya tidak apa-apa. Aku bisa hidup denganmu.”

“SeAnna kamu dibuat untuk hidup di Mars.”

Lalu ia terdiam sejenak. Oh tidak, aku sudah salah berkata dengan SeAnna.

“Pra kamu tahu perbedaan sebenarnya antara kamu dan aku?” tanyanya sambil menundukkan pandangannya. Wajah cantinya kini tertutup dengan surai hitam miliknya. Aku menyelipkan rambutnya lalu menangkup wajahnya agar menatapku.

“Apa?” tanyaku penasaran.

Dia terdiam cukup lama menatapku. Aku sudah bilang belum, kalau SeAnna memiliki tatapan yang meneduhkan dan menenangkan. Jika iya, maafkan aku yang tak bisa mengatakannya hanya sekali.

“Kamu punya pilihan sesukamu, membuat aku seperti kamauanmu dan aku tidak.”

“Ya, jika kamu sudah hidup di sana, jangan biarkan kemauanmu menguasai dirimu penuh.”

“Akan aku ingat, Pra.”

Aku tidak pernah tidak menangis saat kita bersama, setidaknya hanya di akhir perjumpaan kami. Karena kami tahu bagaimana ujung dari perasaan ini. Aku tidak ingin menutupi kalau aku juga merasa sesak saat waktunya tiba. Lalu kami akan menangis bersama, saling menguatkan satu sama lain, dan akhirnya kami tersenyum untuk semua yang sudah kami lalui.

Aku memeluknya erat seperti kita tak akan pernah bertemu lagi—ah kita memang tidak akan bertemu lagi. Baik aku ganti, aku memeluknya erat sepenuhnya aku sebagai diriku. Aku hanya ingin dia merasakan aku memeluknya. Aku tidak ingin memberinya sepenuh hatiku, tidak ini terlalu berat baginya.

“SeAnna, kata temanku Mars kini sudah ada lautan.”

“Pra di Bumi saja laut sudah melahap sebagian darinya,” jawabnya.

Benar, bumi kini penuh akan lautan. Pemanasan global memang tidak bisa dihindari. Meski matahari masih beberapa milyar tahun lagi untuk memasuki fase akhirnya, namun Bumi tak mampu membuatnya bertahan lebih lama lagi. Kini setiap tempat adalah tempat sampah. Sudah terlalu kolot untuk menyalahkan sesama manusia karena ulah serakahnya. Karena tujuan kami sudah berbeda, menciptakan kehidupan baru.

“Di sana pasti berbeda SeAnna. Lebih biru dan bersih dari pada di sini. Kamu tahu buku ensiklopedia ratusan tahun lalu yang aku awetkan?”

Dia mengangguk.

“Jantungku berdegub kencang saat aku melihatnya. Hatiku menghangat dan merasa tenang, seolah aku berenang di sana.”

“Apa namaku juga berarti ‘laut’, Pra?”

Aku menoleh dan tersenyum padanya. Apa dia baru menyadarinya?

“Kamu tahu artinya, kan?” tanyaku memastikan.

“Mmm… Laut, kan?”

“SeAnna, kamu tahu apa yang aku maksud.”

Dia hanya membalasku dengan rengkuhannya disekeliling leherku. Kami menikmati waktu terakhir kami di Greymouth Breakwater, Selandia Baru. Negara ini menjadi satu-satu negara dengan laut terbersih saat ini. Meski banyak daratan tenggelam, Selandia Baru mengalami pengangkatan vulkanik dan jaraknya yang dekat dengan Kutub Selatan membuatnya bertahan.

SeAnna, aku tahu jika hal yang aku lakukan ini tidak benar. Aku membuatmu dari beberapa DNA hewan hanya untuk membuat kehidupan ini abadi. Seolah kamu adalah buah dari keserakahan dan ketamakan kami. Namun aku tetap berterimakasih karena kamu berhasil hidup dari ratusan embrio yang rapuh. Kamu memberiku tatapan seluas lautan, mengisyaratkan bahwa ada sisi lain dari dunia ini yang masih luas. Kamu membuat hatiku tenang seolah aku melayang ditengah lautan matamu yang jernih.

SeAnna, lautku, biruku, ketenanganku. Matahari yang melewati horizon saat ini, bukan matahari terakhir yang kita lihat bersama. Ombak yang dengan jernih kamu dengarkan saat ini, bukan deburan terakhirnya. Namun maaf, jika perjalanan kita harus berakhir saat ini. Ingatlah bahwa aku tidak kemana-mana, meski kamu akan pindah lagi ke ujung tata surya. Aku tidak akan menitipkan perasaanku padamu—untuk kamu tanam dan membiarkannya tumbuh di sana. Karena SeAnna, aku tidak ke mana-mana. Aku selalu ada sebagai diriku untukmu.  

 

Komentar