Pra Kenapa Menjadi Dewasa Membuat Kita Semakin Mengkhawatirkan Banyak Hal? [CERPEN #6]



“Pra memang benar ya menjadi dewasa semakin banyak hal untuk dikhawatirkan?”

Sudah sekitar tiga puluh detik sejak pertanyaan itu bergema, tapi lelaki itu masih saja berkutik dengan buku gambarnya.

Ternyata benar ya, dosen arsitektur itu kalau memberi tugas ga kaleng-kaleng.

“Pra?” Tanyaku lagi.

“Hm? Ya.” Jawabnya membingungkan.

Kalau saja aku bisa melempar kursi yang sedang aku duduki sekarang ke muka Pra. 

Benjol! 

Biar tidak ada lagi yang tertarik dengan muka menjijikan itu.

“Ya apa Pra?” Tanyaku mulai kesal.

“Ya itu.”

“Pra kamu sudah mengabaikanku dari seminggu yang lalu, karena tugas-tugas itu!” Kataku mulai kesal. 

Yang benar saja, Ibunya saja harus pakai speaker saat membangunkannya karena sibuk setiap malam begadang.

Kulihat dia menghela nafas, lalu berbalik menatapku.

Sial! Tatapannya..

Sangat..

Sangat..

Mematikan.

Aku merasa baru saja membangunkan singa yang tidur.

“Aku hanya mecoba menyelesaikan masalahku dengan sebaik-baiknya.”

“Meskipun sebenarnya kamu sudah menyelesaikannya sejak dua hari yang lalu?”

“Tenyata gambar temanku lebih detail dari milikku. Makanya aku mencoba memperbaikinya.”

Ah, dasar tugas sialan! Kalau saja aku bisa santet online dos—

Tidak jadi. Aku takut kualat.

“Kamu khawatir milikmu akan menjadi yang terjelek Pra?”

Aku bertanya saat dia sudah kembali berkutat dengan kertas gambarnya. Aku bersumpah jika kali ini Pra masih tidak menghiraukanku akan ku sobek kertasnya—yang sudah penuh itu, yang bahkan menurutku sangat bagus—saat ini juga.

“Bukan khawatir, aku hanya sedang menyelesaikan masalahku sebaik-baiknya.” Jawabnya tenang.

“Kalau begitu jawab pertanyaanku—”

“—aku sudah menjawab pertanyaan kamu”

“Bukan yang tadi!”

“Lalu yang mana? Kamu sudah menghabiskan lima menitku mengusikku dengan pertanyaan yang sama.” Katanya mulai meninggi. 

“Pertanyaan yang pertama Pra. ‘Apakah menjadi dewasa banyak hal yang harus dikhawatirkan?’” Kataku menimpalinya dengan nada tenang.

“Kamu khawatir?” 

Tanyanya yang kini menatapku.

 Jarak kursi kami memang dekat, dan Pra tak butuh banyak menoleh seharusnya untuk menjawab pertanyaanku.

Tak perlu sedekat ini Pra!

“Aku.. Tidak. Aku hanya memikirkan banyak hal. Memikirkan Wah ternyata banyak temanku yang sudah mulai skripsi, atau bahkan sudah lulus, atau bahkan sudah bekerja. Yah, aku hanya sebatas itu. Aku tidak khawatir Pra. Yang benar saja aku khawatir. Pra, aku ini manusia paling santai di muka bumi. Lulus setahun lagi saja aku biasa saja. Aku. Tidak. Khawatir.”

“Iya, kamu adalah orang paling tidak khawatir yang mengatakan kata tidak khawatir begitu banyak.”

“Lagian khawatir itu membuat aku tidak nyaman.” Kataku  sambil menyilangkan tangan di depan dada dan menghindari tatapannya. 

“Memang seperti apa rasanya?” Tanyanya sambil menyeruput teh.

Oh iya, Pradipta adalah orang paling kuno yang aku tahu. Saat berbagai produk teh menawarkan berbagai the tanpa ampas, dia adalah orang yang masih suka dengan teh berampas. Apa ya sebutanya, the yang Ketika di seduh masih ada daun-daun kecilnya.

Rasanya kaya ada pait-paitnya Git. Apalagi kalau tawrar. Seperti kehidupan Git, meskipun sedikit pait kamu harus tetap menikmatinya. 

Ewh! Dasar aliran indie. 

“Ya menyesakkan Pra. Seperti kamu takut menghadapi semuanya. Kamu merasa kalau dunia semakin menekanmu. Kamu.. kamu merasa jadi manusia tertinggal dan tidak berguna hidup di dunia selama ini. Hal yang selama ini kamu lakukan adalah hal yang sia-sia-- 

“Ahh nikmat” Selanya setelah meneguk teh miliknya.

“…”

“Git, menurut kamu menjadi dewasa harus mengkhawatirkan masa depannya?” Tanyanya mulai serius. Meski masih berkutat menghilangkan daun-daun teh yang masih mengambang, ketika Pra sudah bertanya soal keyakinan seperti ini. Maka dia akan memulainya. 

“Itu pertanyaanku Pra. Kenapa kamu malah bertanya?”

Yah, meskipun sedikit menngesalkan. Tapi Pra sejauh ini adalah orang terbaik dari seluruh manusia aneh di dunia ini. 

“Git, kalau menjadi dewasa semakin mengkhawatirkan banyak hal--”

Sebentar, dia sedang meneguk lagi teh kesukaanya.

“--maka untuk apa manusia hidup? Seharusnya dia mati dari awal.”

“Maksud kamu?”

Kenapa dia tiba-tiba membahas kematian? Pra benar-benar orang aneh.

“Ya untuk apa kamu hidup dalam ketakutan. Untuk apa kamu takut hidup?”

“Bukan takut hidup Pra—”

“—Takut menjalani kehidupan?”

“Pra khawatir dan takut itu berbeda.”

“Beda apanya? Hal itu sama-sama membuatku tidak berani membuka mata dan melangkah.”

“…”

“Git, masa depan bukan untuk dikhawatirkan. Masa depan itu direncanakan.”

“Apa bedanya?”

“Ketika kamu menghawatirkan sesuatu hal, maka hal tadi yang akan kamu rasakan. Tapi, kalau kamu merencanakan masa depan maka kamu akan melihat masa depan dari sisi yang berbeda. Kamu akan melihat peluang-keberuntungan-dan kebahagiaan.”

“Masalahnya Pra, kita manusia dari kecil diajak untuk bermimpi tapi kenyataan selalu tidak sesuai dengan apa yang kita mimpikan.”

“Kamu hanya tidak mau memprjuangkannya karena jalannya terlalu terjal. Merasa tidak kalau semua masalah yang kamu alami itu bukan kamu lalui tapi kamu abaikan. Kamu santai? Hah, yang benar saja. Kamu bukan santai, tapi kamu mengabaikannya. Kamu santai bukan karena sudah menyelesaikannya, tapi kamu tidak mau memikirkannya. Memikirkan penyelesaiannya.”

“Bukan seperti itu..”

“Lebih baik alasan kamu itu kamu ubah menjadi alasan untuk menjalani hidup.”

“…”

Pra Kembali berkutat dengan kertas gambarnya.

Pra benar-benar keterlaluan. Saat aku sudah dipermalukan sekarang aku diabaiakan?

“Git..” Katanya Kembali memecah keheningan selama lima menit ini.

“…”

“Tidak tahu Pra. Aku malu. Aku hanya ingin menghilang.” Kataku menyandarkan diri ke kursi di sampingnya. 

“Lagi. Kamu mengabaikannya. Masalah itu harus kamu hadapi Git. Masa depan itu harus kamu rencanakan. Tidak peduli apakah saat kamu menanam apel berbuah apel atau mungkin pare, setidaknya kamu tidak harus menyesalinya seperti sekarang.”

“Aku menyesalinya Pra?” Tanyaku ragu-ragu.

“Iya, kamu menyesali kenapa kamu masih seperti ini padahal teman-teman kamu sudah berubah menjadi avenger.”

“Aku hanya tidak suka memikirkan hal yang menyesakkan Pra.”

“Sudah berapa kali aku bilang. Jangan kamu khawatirkan, tapi rencanakan. Ketika teman-teman kamu sudah melangkah sepuluh langkah di depan kamu, tidak apa kamu ketinggalan. Lalu pikirkan bagaimana cara kamu untuk juga bisa melangkah sepuluh langkah ke depan.”

“Kehidupan bukan hanya soal batas waktu, bukan hanya soal mengejar materi. Ini soal bagaimana kamu menjalani hidup kamu, bagaimana hasil yang kamu dapat, dan bagaimana kamu bisa belajar darinya.”

“…”

“Jadi aku harus memikirkan apa?”

“Menyelesaikan masalahmu sendiri dengan hal yang kamu suka.”

“Maksudnya?”

“Ketika orang itu melangkah sepuluh langkah di depan dengan jalur A—di mana kamu tidak menyukai jalur itu—maka kamu harus melangkah sepuluh langkah dengan jalur yang kamu suka. Dengan jalan yang menurutmu itu cocok untuk kamu lalui. Banyak jalan menuju Roma Git.”

“Tapi Pra--”

"--Apa lagi?"

"Roma kita berbeda-beda."

"Memang."

“…”

"Roma kita berbeda, jalur kita juga berbeda Git. Jadi kenapa kamu harus khawatir dengan pencapaian orang lain? Kenapa harus khawatir dengan hal yang belum kamu lakukan. Orang dewasa bukan semakin mengkhawatirkan banyak hal, tapi mereka memikirkan dan merencanakan banyak hal. Memikirkan jalur mana yang akan mereka ambil, Roma mana yang mau mereka tuju."

"..."

“Jadi kembali ke rumah dan mulai memikirkan. Gunakan otak kamu Gita. Kurangi halu kamu dengan drama korea. Toh juga, sudah ada aku di depan kamu yang sangat cakep melebihi oppa sialan kamu itu.”

"Wekk. Aku sudah kamu permalukan Pra, tidak perlu membuat perutku mual."

 

 

Komentar