Memahami [CERPEN #5]



“Nan, kamu tahu kenapa kebanyakan orang bercerita tentang siapa yang paling sedih?”
“Maksudmu?” Tanyanya sambil membuka bungkus roti keju kesukaannya.
“Mereka berbalas cerita kisah mana di hidup  mereka yang paling sengsara.”
“Ohh..” Katanya bersusah payah menelan. “Untuk menjadi cerita yang paling menginspirasi? Mereka bangga karena mampu melewatinya.”
Aku menoleh kepadanya. “Pamer maksud kamu?”
Dia tertawa renyah.
Namun, sangat manis.
“Bukan. Karena kalau mereka bisa melewatinya maka orang lain juga pasti bisa.”
“Tapi Nan, tidak semua cerita punya alur yang sama.”
“Apa bedanya? Semua akan di awali dengan pengenalan, lalu konflik, dan penyelesaian.”
Aku menghela nafas sejenak. Susah berbicara dengan tukang makan.
Lihat! Bahkan dia tak akan cukup hanya dengan tiga bungkus roti keju.
“Nan.. Nggak semua cerita punya jalan cerita yang sama. Juga, nggak semua orang akan mengatasinya dengan cara yang sama.”
“Oh maksud kamu, orang itu—maksud aku orang yang menceritakan kesedihanya, percuma bercerita karena sesulit apapun masalah seseorang tidak akan ada yang bisa memahami?”
God! Akhirnya dia paham.
Apa butuh lima bungkus roti keju agar otaknya bisa bekerja?
“Iya”
Dia lalu mengibaskan tanganya ke udara. Rotinya sudah habis.
“Lalu kenapa orang berlomba-lomba bercerita siapa yang paling menyedihkan?”
“Supaya orang lain berhenti.”
Dia menggaruk kepalanya. Rotinya sudah habis. Otaknya kini mungkin tidak bekerja sama sekali.
“Aku tidak paham”
Jelas kamu tidak akan paham. Yang bisa memahamimu adalah roti keju sialan itu!
“Supaya pusaran itu berhenti. Ketika dia menjadi sangat sengsara di antara mereka, maka cerita itu selesai. Tidak ada yang akan menimpali. Karena mereka paham, tidak akan ada yang bisa memahami.”
“Lalu kenapa mereka bercerita? Mereka sebaiknya memendamnya sendiri.”
“…”
“…”
“Kenapa?”
“…” Aku terdiam.
Karena aku hanya ingin mereka memahami, tapi kenyataan bahwa tidak ada yang bisa memahami, itu menyakitkan.
“Biar aku perbaiki kata-katamu. ‘Supaya pusaran itu berhenti. Ketika dia menjadi sangat sengsara di antara mereka, maka cerita itu selesai. Tidak ada yang akan menimpali. Karena dia berharap diamnya mereka artinya mereka memahaminya’. Bukan begitu?”
“…”
“Lihat, kamu sendiri berharap bahwa semua orang akan memahami kamu.
“Iya tapi nyatanya enggak ada yang bisa.”
“Lalu kenapa kamu berusaha membuat semua orang memahami kamu?”
Lalu siapa? Matahari yang kini mulai tenggelam? Atau pohon yang jadi sandaran aku sekarang? Jelas tidak mungkin aku berharap kamu yang bisa memahami aku Keenan.
“Karena aku enggak mau sendirian.”
Aku tidak berharap semua orang memahami aku. Hanya satu, mungkin?
Setidaknya dia selalu ada untukku.
“Kamu merasa sendirian? Kamu lupa ada orang yang menyakitimu?
Kamu maksud kamu?
“Apa kamu sekarang sedang berperan jadi dia? Atau kamu berharap aku memahami kamu?
“…”
“Kamu tahu itu tidak mungkin terjadi kan?”
Roti keju sialan itu mungkin adalah ramuan penghancur perasaan.
“Sebaiknya aku pulang. Aku lupa ibu sering marah kalau aku pulang kemalaman.” Aku beranjak pergi dari tempat tinggi sialan ini.
Apapun tentang Keenan memang sialan.
“Ini belum malam, hanya petang.”
Terserah kamu Keenan!
“Kamu tahu aku mungkin akan selalu ada di samping kamu. Tapi kamu juga tahu kalau aku tidak akan bisa memahami kamu. Bukan aku, mungkin semua orang juga akan sama, karena kita sedang tidak berada dalam kondisi  yang sama. Meskipun mungkin kita sama-sama sedih, tapi hal di sekeliling kita berbeda.”
“Kamu mungkin berhak marah dengan semua orang—karena yah itu hidupmu jadi terserahmu. Hanya saja ketika kamu menghakimi orang yang tak bisa memahamimu dan menyamakan mereka semua, itu tidak adil.”
“Bagian mana yang tidak adil? Aku merasa sangat sedih, ketika orang yang menyakitiku bahagia itu adil menurut kamu?
Yah seperti kamu yang sangat bahagia menghabiskan lima bungkus roti keju.
Dia tersenyum.
Dia selalu tersenyum saat aku sedang berada dalam puncak emosiku.
Seolah itu adalah obat pereda emosi.
“Apa semua orang ingin bersedih? Apa tujuan manusia hidup untuk bersedih? Kamu tidak perlu berusaha membuat semua orang harus memahami kamu—“
Iya karena aku hanya ingin satu yang bisa memahami aku.
“Kamu hanya butuh satu orang”
Kamu.
“Kamu. Dirimu sendiri.”
“…”
“Jadilah orang yang paling baik untuk dirimu sendiri. Semua orang diluar sana jahat—“
Apalagi kamu.
“Pahami dirimu sendiri. Semua orang ingin bahagia, kamu juga kan?”
“…”
“Cari kebahagiaan abadi kamu. Tidak perlu bersusah payah mencari orang yang akan memahamimu. Kamu sendiri yang bilang tidak akan ada orang lain yang paham. Karena yang paling paham adalah dirimu.”
“Jadi pahamilah dirimu, cari kebahagiaanmu. Rasa sedih itu yang akan membuatmu paham kenapa kamu harus bahagia.”
Tapi aku bahagia kalau kamu bisa memahamiku.
“Aku tidak bisa memahami kamu. Kita berbeda, benar?
“Kamu manusia. Aku hanya Keenan yang bukan lagi manusia. Aku hanya bayang- bayang kamu.”

Komentar