Manusia Tanpa Nama [CERPEN #1]


Pict from pinterest

Aku cukup bingung, untuk urusan pukul 15.30 itu termasuk siang atau sore. Karena, matahari cukup terik dan enggan untuk meredupkan jenarnya. Aku dengan terburu-buru berlarian menuju Stasiun Lempuyangan untuk mengejar kereta. Tolol! Seharusnya aku bisa lebih memenejemen waktu lebih baik dan tidak datang semepet ini untuk kereta yang jadwal datangnya persis saat aku tiba di stasiun. Aku nekat membuat kartu perpustakaan yang menunggu waktu sekitar 15 menit untuk meminjam sebuah buku di perpustakaan kota Yokyakarta. Judulnya "Laut Bercerita" karya Leila S C. Untuk pertama kalinya, aku dibuat terpikat dengan kisah reformasi. Memang, aku sudah memiliki sedikit ketertarikan dengan sejarah-sejarah yang masih menjadi misteri. Seperti reformasi dan G30 September. Namun, aku hanya sekedar penasaran, dan lebih senang untuk mendengarkan cerita dibanding membaca berita/sejarahnya. Karena sejujurnya, itu membuatku mengantuk.

Aku masuk melewati pintu keluar, dan melihat ternyata keretaku sudah nangkringg di jalur 2. Tanpa pikir panjang aku langsung memasuki kereta tersebut. Aku bahkan lupa harus check-in dahulu sebelum amsuk kereta.  Untungnya, lima kali aku menaiki kereta ini, belum pernah ada pengecekan penumpang di dalam kereta. Sebelum masuk aku bertannya denga petugas kereta yang asyik bercengkrama di depan pintu kereta.

"Permisi Mbak, Mas. Ini benar Kereta Pasundan jurusan Stasiun Gubeng Surabaya?"

"Oh iya mbak, benar." Kata salah satu petugas laki-laki sambil tersenyum.

"Oke, makasih mas."

Selepas itu aku segera mencari gerbong 2 dengan nomor kursi 11 E. Iya, kursi paling nyaman di dekat jendela. Bukan karena mengikuti trend anak-anak indie, sang penikmat kopi-pengagum senja itu aku memilih duduk di dekat jendela sambil melihat pemandangan ditemani lagu-lagu slow milik Banda Neira atau band indie lainnya. Bukan, aku secara totalitas bukan anak indie. Aku hanya malas harus melihat orang berlalu-lalang di sampingku jika aku memilih kursi duduk bukan di dekat jendela. Selain itu, aku bisa lebih nyaman bersandar di jendela, dan di dekat jendela ada stopcontact yang selalu kugunakan untuk isi ulang baterai hpku.

Mumpung aku masih  belum mengantuk, aku memutuskan untuk membaca buku yang telah aku pinjam tadi. Sialan! Isinya benar-benar membuatku ingin menangis. Novel ini berkisah tentang mahasiswa aktivis selama menjelang reformasi. Tentang mereka yang membuat sebuah seperti klub diskusi buku bernama Winatra, bahkan aku baru tahu mahasiswa aktivis dulu membuat klub seperti ini, membahasnya,  dan yah melakukan beberapa aksi. Nama Pramodya Ananta Toer yang baru-baru ini kudengar karena bukunya akan dijadikan fim dan dibintangi oleh Iqbal CJR, bahkan aku baru tahu kalau beliau adalah seorang aktivis juga. Buku-bukunya yang ku kira novel-novel biasa ternyata memang luar biasa. Dasar Aku!

Aku menangis tersedu, eh tidak terlalu sih, hanya meneteskan beberapa air mata, karena tak tega dengan adegan penyikasaan oleh orang-orang laknat pada Biru laut (Tokoh utama di dalam novel). Untungnya kursi-kursi di hadapanku masih kosong, jadi aku tidak malu harus menangis disini.

Namun, tiba-tiba suara tas yang ditaruh di rak atas menyadarkanku dari buku. Aku mengalihkan pandangan dan mendongak untuk melihat siapa yang datang. Mas mas dengan tas ransel yag kini sudah nyaman di rak atas, lalu duduk tepat di depanku. Wajahnya cukup rupawan, ya memang tidak seganteng oppa-oppa korea, namun sangat cocok di kategori tokoh-tokoh utama novel teenlt yang tinggi, putih, hidung mancungm dan rupawan.

Pakaianya cukup kasual, memakai kaos dengan outwear kemeja kotak-kotak berwarna hitam-hijau tua-dan putih. Jelana jeans biru dan sepatu convers biru dongker yang sudah sangat lusuh. Memang tidak sampai robek, namun cukup untuk mengetahui bahwa umur sepatu itu pasti sudah sangat lama, atau mungkin masnya mendaki gunung menggunakan sepatu convers.

"Kenapa?" Tanyanya.

Terlalu lama memperhatikan mas mas di depanku, aku bahkan tak sadar bahwa selama ini aku masih dengan sisa-sisa air mata bekas membaca buku. mungkin mataku sedikit bengkak. Aduh! Aku cukup malu untuk berhadapan dengan masnya. Ya mungkin kita hanya oran yang tak mengenal satu sama lain, namun tetap saja malu dilihat orang ganteng macam masnya, duduk di depanku pula!

"Hah? Oh, gapapa." Kataku dengan sedikit gugup lalu menutup mukaku dengan buku yang aku baca tadi. Dasar aku!

"Sampai menangis?"

Entah, apa dia sedang bertelepon atau memang dia sedang berbicara denganku. Aku tetap melanjutkan bacaanku, yang mana dari tadi tidak pernah beranjak dari 190, dimana Kinan (salah satu tokoh) baru saja tertangkap oleh orang-orang laknat. Seharusnya aku menangis, karena aku begitu mengagumi sosok Kinan di buku ini. Namun entah mengapa, pikiranku tak pernah bisa beranjak dari ma mas di depanku ini.

Tiba-tiba dia menepuk bukuku, aku segera menurunkan buku dari mukaku. Sedikit aneh memang, bagaimana anehnya orang membaca dengan gaya buku dan mata tegak lurus. Pasti masnya menyangka bahwa aku menutupi rasa maluku. Ah sialan!

"Saya?" Kataku sambil menunjuk jariku padaku.

Masnya lalu mengangguk sambil tersenyum. Aduhai, kenapa senyumnya mengalihkan duniaku sih? Sungguh nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan?

"Sampai menangis bacanya?"

"Mm, iya." kataku malu-malu.

Ewh! Bahkan aku merasa jijik dengan nada omonganku sendiri.

"Kenapa? Gak tega ya sama penyiksaanya?"

Eh, masnya juga tahu buku ini toh? Wah, lelaki idaman sekali masnya suka baca buku.

"Iya. Untung Kinan tidak diceritakan lebih, dari tadi saya bayangin gimana Kintan kalau ketangkep. Kintan kan perempuan."

Diapun tersenyum.  Lalu tak ada pertanyaan lain. Huh dasar lelaki, sukanya bikin baper doang!

Aku lalu melanjutkan bacaanku, dan lagi-lagi konsentrasiku tak bisa penuh akan buku ini. Aku mulai mencoba untuk bertahan dan membaca dari bagian yang membuatku menangis tadi. Sampai akhirnya aku menangis lagi, dan lupa bahwa masih ada masnya yang setia duduk di depanku. Tiba-tiba saja ia menyodorkan sapu tangannya yang berwarna kuning kunyit.

"Masih bersih kok, baru aja aku ambil dari jemuran tadi." Katanya sambil tersenyum lagi.

"Makasih mas.." Kataku sambil menerimanya.

Setelah membersihkan air mataku, aku jadi bingung. Tidak mungkinkan aku mengembalikan sapu tangan dengan kondisi mengenaskan akibat air mata dan ingusku ini ke masnya. Tapi, kalau aku bawa pulang dan aku cuci sendiri, belum tentu aku akan bertemu lagi dengan masnya.

Seperti masnya tahu aku sedang bingung akan hal apa, dia tiba-tiba saja bergumam.

"Simpan saja dulu, kalau kita berjodoh untuk ketemu berarti sapu tangan itu memang milikku."

Ajegile! Masnya romantis banget deh.
Kenapa gak "berarti kamu memang milikku" saja sih mas? Biar aku lebih melting-melting flower gitu.

"Mbak mbak.. Maaft kepalanya ngalangin jalan."

"Hm iya mas ganteng?" Kataku sambil mengusap iler yang bener-ngalirnya deres banget kek air terjuan niagara.

"Kepala mbak ngalain jalan." Kata ibu-ibu saat aku berhasil menegakkan kepalaku. Dan selang beberapa menit, mungkin 5 menitan, aku baru mendapatkan seleuruh nyawaku.

LOH KOK AKU DUDUK DI PINGGIR SIH? BUKANYA DI SAMPING JENDELA, SAMA MAS GANTENG.

LOH, DEPANKU KOK KELUARGA MUDA GINI SIH? LAH SAMPINGKU KOK BAPAK-BAPAK YANG NGROK SIH? MANA ILERNYA LEBIH DERES DARI ILERKU LAGI.

BENTAR-BENTAR.

JADI DARI TADI, HAL YANG SUPER DUPER INDAH TADI

CUMA MIMPI BOY?

SUMPEH? WAH GILA. NAPE KEK NYATA BANGET YA?

FIX SIALAN, JOMBLO 22 TAHUN EMANG BIKIN JIWA-JIWA NGENES GUE MERONTA-RONTA.

YA ALLAH, KAPAN SIH W DAPET COWOK GANTENG N SHOLEH?!

Komentar